Bab 1: Pertemuan Tak Terduga
Arga
selalu memiliki kebiasaan yang tak berubah selama bertahun-tahun. Setiap sore,
selepas kerja, dia akan pergi ke tebing di pinggiran kota, tempat yang hanya
dikenal oleh segelintir orang. Di sana, di bawah langit yang berubah warna saat
senja, dia akan duduk di atas batu besar yang menghadap langsung ke lautan.
Ditemani angin laut dan suara ombak, Arga sering terdiam, tenggelam dalam
kenangan tentang Alina—cinta pertamanya yang hilang tanpa jejak.
Alina
adalah seorang perempuan yang melukis senja dengan cahaya dalam kehidupannya.
Mereka bertemu di universitas, dan saat itu mereka adalah pasangan sempurna.
Bersama Alina, Arga merasa dunia hanya milik mereka berdua. Senja adalah waktu
favorit mereka, di mana mereka sering berjalan berdua, berbicara tentang
mimpi-mimpi dan masa depan yang ingin mereka bangun. Hingga suatu hari, tanpa alasan
jelas, Alina menghilang.
Setelah
kepergian Alina, Arga tak pernah bisa benar-benar melupakannya. Setiap kali
matahari tenggelam, Arga merasa ada bagian dari dirinya yang terjebak di masa
lalu, bersama Alina. Setiap senja terasa seperti janji yang belum selesai.
Hari
itu, di tengah senja yang mulai memudar, Arga melihat sosok perempuan berdiri
di ujung tebing. Dia mengenakan gaun putih sederhana, rambut hitamnya tertiup
angin. Perempuan itu tampak memandang ke kejauhan, ke arah cakrawala di mana
laut bertemu langit. Arga belum pernah melihatnya sebelumnya.
Rasa
penasaran mulai merambat di pikirannya, tapi dia tak berani mendekat. Saat dia
hendak pergi, perempuan itu tiba-tiba berbicara tanpa menoleh.
“Senja
selalu membawa pulang kenangan, ya?”
Arga
terdiam. Suara itu lembut, namun terdengar jelas di tengah desiran angin laut.
“Ya, kadang terlalu banyak kenangan,” jawab Arga pelan, setengah berharap
perempuan itu mendengar, setengah lagi berharap dia tidak.
Perempuan
itu menoleh, dan mata mereka bertemu. Seketika, Arga merasa ada sesuatu yang
aneh dalam tatapan perempuan itu. Bukan sekadar kesedihan, melainkan kerinduan
yang dalam—kerinduan yang sama seperti yang dia rasakan.
“Aku
Nara,” kata perempuan itu, tersenyum tipis.
“Arga,”
balasnya.
Bab 2: Rahasia di Balik Senja
Hari-hari
berikutnya, Arga dan Nara mulai sering bertemu di tebing itu. Entah bagaimana,
seolah ada aturan tak tertulis bahwa mereka harus bertemu saat senja. Mereka
tidak selalu berbicara, terkadang hanya duduk dalam diam, menikmati pemandangan
matahari terbenam yang begitu memukau, namun di balik keindahan itu, selalu ada
kesan kehilangan yang tak terucap.
Suatu
sore, ketika senja mulai meredup, Nara bercerita.
“Dulu,
aku sering datang ke tempat ini bersama tunanganku,” katanya perlahan, suaranya
sedikit bergetar. “Dia hilang di laut saat badai besar beberapa tahun yang
lalu. Sejak itu, aku selalu datang ke sini. Seolah-olah menunggu, berharap dia
akan kembali.”
Arga
menoleh ke arah Nara, merasakan kesedihan yang dalam dalam kata-katanya. Dia
tahu perasaan itu. Perasaan menunggu seseorang yang mungkin tak akan pernah
kembali. Itu adalah perasaan yang dia bawa selama bertahun-tahun tentang Alina.
“Aku
juga kehilangan seseorang,” kata Arga akhirnya. “Alina, pacarku. Dia pergi
tanpa jejak. Aku tidak tahu ke mana atau mengapa. Yang tersisa hanya kenangan
tentang senja yang dulu selalu kami habiskan bersama.”
Nara
terdiam sejenak, menatap Arga dengan tatapan penuh pengertian. “Kita berdua
terjebak dalam kenangan, ya?”
Arga
mengangguk. "Kadang aku berpikir, mungkin aku seharusnya berhenti
menunggu. Tapi entah bagaimana, setiap kali aku mencoba, aku selalu kembali ke
sini."
Bab 3: Di Bawah Langit yang Sama
Semakin
sering mereka bertemu, semakin dekat mereka menjadi. Ada sesuatu dalam
keheningan mereka yang membuat Arga merasa nyaman bersama Nara. Dia tidak
pernah merasa perlu menjelaskan apa-apa, karena Nara selalu memahami. Mereka
berbagi kesedihan yang sama, dan meskipun masing-masing memiliki cerita yang
berbeda, kerinduan yang mereka rasakan terasa serupa.
Hari
demi hari berlalu, dan Arga mulai menyadari bahwa kehadiran Nara memberinya
rasa tenang. Meskipun senja tetap mengingatkannya pada Alina, kehadiran Nara
membuatnya melihat senja dengan cara yang berbeda. Tidak lagi hanya sebagai
simbol kehilangan, tetapi juga sebagai waktu untuk refleksi dan memulai sesuatu
yang baru.
Suatu
sore, saat mereka duduk di tebing dan menatap matahari yang perlahan tenggelam,
Nara tiba-tiba bertanya, “Pernahkah kamu berpikir untuk memulai lagi?”
Arga
menoleh, terkejut dengan pertanyaannya. “Memulai apa?”
“Memulai
hidupmu kembali. Melepaskan kenangan lama, dan menerima bahwa mungkin ada
sesuatu yang lebih baik menunggumu.”
Arga
terdiam, menatap ke cakrawala yang perlahan berubah warna. “Aku tidak tahu
apakah aku bisa. Kenangan tentang Alina… terlalu kuat. Seolah-olah, jika aku
melepaskannya, aku akan kehilangan bagian dari diriku sendiri.”
Nara
tersenyum tipis, menatap laut dengan pandangan jauh. “Aku mengerti perasaan
itu. Aku juga merasakannya tentang tunanganku. Tapi semakin lama aku di sini,
semakin aku sadar bahwa mungkin kita tidak seharusnya hidup dalam bayangan masa
lalu. Mungkin kita harus memberi ruang bagi hal baru.”
Bab 4: Awal Baru
Waktu
berlalu, dan Arga mulai merenungkan kata-kata Nara. Mungkinkah dia benar?
Mungkinkah dia harus berhenti menunggu Alina dan mulai membiarkan dirinya hidup
kembali?
Sore
itu, ketika Arga tiba di tebing, dia menemukan Nara sedang berdiri di tepi,
lebih dekat ke laut daripada biasanya. Angin bertiup kencang, mengibarkan
rambut dan gaunnya. Arga berjalan mendekat, merasa ada sesuatu yang berbeda
tentang hari ini.
“Aku
harus pergi,” kata Nara tiba-tiba, tanpa menoleh.
“Ke
mana?” tanya Arga, suaranya bergetar.
Nara
menoleh, tersenyum dengan mata yang terlihat basah. “Aku memutuskan untuk
melanjutkan hidupku. Sudah waktunya. Aku tak bisa terus terjebak di sini,
menunggu sesuatu yang mungkin tak akan pernah kembali.”
Arga
merasa dadanya sesak. “Dan bagaimana dengan kita? Apa ini juga berarti kita…?”
Nara
menunduk, mengambil napas panjang. “Arga, aku akan selalu mengingat senja-senja
yang kita habiskan bersama. Tapi kamu juga harus memulai hidup baru. Jika kita
terus tinggal di masa lalu, kita tidak akan pernah benar-benar hidup.”
Arga
terdiam, merasakan perasaan campur aduk. Tapi di balik rasa kehilangan yang
perlahan muncul, dia juga merasakan ketenangan. Mungkin inilah yang dia
butuhkan—sebuah penutup, sebuah akhir dari penantian panjang.
Bab 5: Langit Senja Terakhir
Beberapa
hari setelah Nara pergi, Arga tidak kembali ke tebing. Dia menghabiskan waktu
di rumah, mencoba mengisi pikirannya dengan hal-hal lain. Tapi setiap kali
senja tiba, ada dorongan dalam hatinya untuk kembali ke tempat itu.
Akhirnya,
pada suatu senja yang langitnya lebih indah dari biasanya, Arga memutuskan
untuk kembali. Namun kali ini, dia datang bukan untuk menunggu. Dia datang
untuk mengucapkan selamat tinggal—pada Alina, pada Nara, pada masa lalu.
Ketika
matahari mulai tenggelam, Arga berdiri di tepi tebing, menghadap laut yang
berkilauan di bawah cahaya senja. Dalam hatinya, dia melepaskan semua kerinduan
yang selama ini dia simpan. Kenangan tentang Alina akan selalu ada, tapi dia
sadar bahwa hidup harus terus berjalan.
Di
bawah langit senja yang sama, Arga menatap cakrawala, dan untuk pertama kalinya
dalam waktu yang sangat lama, dia merasa bebas.
Komentar